
Beres menonton film Gerald’s Game, saya jadi ingin membuat tulisan mengenai film ini. Bukan sekedar review dari film tersebut tapi pelajaran berharga yang menjadi inti dibuatnya film itu.
Pertama kali melihat cover film Gerald’s Game, saya berpikir bahwa film itu hanya film horor ecek-ecek yang hanya mengedepankan daya tarik seks. Tidak berlebihan rasanya, karena covernya menggambarkan seorang perempuan dengan tangan terborgol di kasur dan seorang laki-laki yang tertidur di atasnya. Pikir saya, ah, film ini pasti hanya salah satu dari sekian banyak film horor murahan yang menampilkan adegan intim disusul kejar-kejaran oleh hantu, zombi, atau sosok menakutkan lainnya.
Namun, ada hal yang menggelitik rasa penasaran saya, yaitu wajah sang pemain yang sudah tergolong matang. Umumnya, bila film horor seperti yang saya deskripsikan di atas akan memakai pemain yang masih muda, cantik dan ganteng, sebagai daya tarik filmnya. Tapi film ini tidak. Karenanya, saya jadi ingin tahu apakah ada pesan lain yang hendak disampaikan oleh film ini selain ketegangan berbalut romantisme.
Akhirnya, saya putuskan untuk menonton film tersebut dengan dua gaya andalah; gaya pertama skip, skip, dan skip. Membrowsing secara umum isi film itu di awal, pertengahan, dan akhir. Beberapa adegan menarik perhatian saya, seperti saat si karakter utama (perempuan yang diborgol) tampak berkhayal bicara dengan dirinya sendiri. Lalu ada penggambaran gerhana matahari total yang membuat seisi layar berwarna merah mencekam. Kemudian tokoh lain yaitu seorang laki-laki yang memiliki kelainan genetik yang membuatnya bertubuh tinggi besar.
Monster dan Gerhana
Setelah melihat sekilas demi sekilas, saya lalu memutar film tersebut dari awal lagi dan menonton dengan lebih fokus. Akhirnya, setelah menonton benar-benar, saya bisa menyimpulkan bahwa film tersebut bukan sekedar film horor murahan. Film Gerald’s Game, adalah film horor dengan pemaknaan yang dalam mengenai monster dan gerhana, dan jiwa seorang anak kecil.
Untuk review mengenai alur filmnya sendiri bisa Anda temukan di banyak situs, baik yang berbahasa Inggris maupun Indonesia. Buat saya, yang lebih menarik untuk dibahas adalah pesan yang terkandung di dalam film itu sendiri, yang disimpulkan dalam dua kalimat;
“Terkadang, mereka yang diharapkan bisa melindungimu dari monster menjadi monster itu sendiri.”
dan
“Ternyata kau jauh lebih kecil daripada yang aku ingat.”
Karakter Utama Film
Jessie, sang tokoh utama di dalam film Gerald’s Game, adalah seorang istri yang baik dan penurut. Demi menyenangkan hati suaminya, ia menuruti keinginan sang suami berlibur ke sebuah kabin yang berada jauh di tengah-tengah hutan.
Ia juga bersedia melakukan romantisme versi suaminya yang tidak biasa. Namun sang suami tidak pernah mengetahui bahwa Jessie pernah mengalami pelecehan seksual sewaktu kecil dam memendamnya hingga dewasa. Kejadian tidak menyenangkan yang pernah Jessie alami dulu membuat sebagian dirinya tidak berdaya menghadapi ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar ; takut pada kegelapan, tidak berani mengambil resiko, dan nyaman dalam imajinasinya sendiri sekalipun bukan lagi anak-anak.
Trauma Masa Kecil Jessie
Trauma Jessie berawal dari kejadian di pinggir pantai saat gerhana matahari. Ia yang saat itu masih berusia belasan tahun, duduk di ayunan di pinggir pantai bersama ayahnya. Saat gerhana di pinggir pantai, sang ayah (sejak awal sudah bermasalah dengan dirinya sendiri dan istrinya) melakukan pelecehan kepada Jessie meski tidak sampai memperkosanya. Jessie, saat itu seorang gadis kecil yang polos, tidak bisa berbuat apa-apa selain merasa malu dan hina. Ia marah dan kecewa pada dirinya sendiri. Ia menyalahkan dirinya yang telah salah memilih gaun yang terlalu pendek, sehingga membuat ayahnya berbuat tidak pantas.
Namun, yang lebih mengecewakan Jessie adalah sikap sang ayah yang mencegah agar perbuatannya tidak diketahui siapapun, termasuk ibunya. Ayah Jessie merangkai kalimat, memutar balik fakta, dan memanfaatkan kepolosan Jesssie. Sehingga gadis kecil itu memaklumi bahwa tetap diam adalah hal yang paling baik agar keluarga mereka tidak retak.
Saat itulah Jessie mulai merasa ia berada di hadapan sumur yang dalam dan gelap, yang setiap saat bisa menelan dirinya. Seperti matahari yang ditelan gerhana. Jessie merasa sebagian jiwanya tertinggal di detik gerhana itu terjadi. Sebagai anak-anak, ia tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi pada dirinya selain kegelapan dan kehampaan yang ikut berkembang seiring ia dewasa.
Di masa kini, ketika menuruti keinginan sang suami tidak biasa, trauma masa kecil itu muncul kembali. Jessie panik dan ketakutan. Terlebih ketika akhirnya suaminya meninggal karena serangan jantung tiba-tiba, meninggalkannya dengan tangan terborgol di kasur. Sendirian dan berada jauh di tengah-tengah hutan, Jessie hanya bisa pasrah dan dan menerima nasib apa pun yang mungkin menimpanya. Namun, di tengah-tengah kepanikan dan rasa takutnya, alam bawah sadarnya yang selama ini ia pendam menemukan jalan keluarnya.
Lepas dari Masa Lalu
Jessie baru menyadari bahwa ketakutan-ketakutannya berasal dari apa yang pernah ia alami di masa kecil dulu. Dirinya di masa kecil yang takut, kecewa, dan merasa hina, ternyata belum menemukan jalan untuk bisa berdamai dan memaafkan.
Benar bahwa ketika kecil ia memaafkan ayahnya dan setuju untuk membuat kejadian memalukan itu rahasia mereka berdua. Tapi, sebagian hatinya menuntut perlakuan adil yang seharusnya ia dapatkan sebagai seorang anak. Itu sebabnya, di antara usahanya membebaskan diri dari borgol, lirih terucap kalimat ,’Terkadang, mereka yang diharapkan bisa melindungimu dari monster menjadi monster itu sendiri.”
Kalimat itu adalah apa yang sesungguhnya ada dalam hati Jessie kecil, yang selama ini ia pendam dan tutupi. Yang hingga dewasa ia ingkari sendiri demi menjaga keutuhan keluarganya. Namun, saat ia sudah bisa menerima kenyataan tersebut dan memaklumi bahwa apa yang terjadi di masa lalu bukanlah salahnya, kekuatan di dalam diri Jessie pun muncul. Ia memberanikan dirinya menggenggam pecahan gelas agar darah yang keluar bisa melicinkan tangannya sehingga bebas dari borgol, meski harus merasakan sakit luar biasa.

Bebas
Di kegelapan malam, di kabin yang berada jauh di tengah hutan, Jessie berusaha membebaskan dirinya dan menyelamatkan dirinya dari sosok misterius yang beberapa malam terakhir datang ke kamar di mana ia dan mayat suaminya berada. Jessie baru menyadari kemudian bahwa sosok yang ia temui di kabin saat itu bukan monster fantasinya, melainkan seorang laki-laki bernama Jason yang menderita kelainan genetik akromegali dan merupakan pembunuh berantai. Beruntung saat itu ia tidak menyakiti Jessie karena keterbatasan yang ada pada dirinya membuat ia berpikir Jessie tidak nyata.
Jessie, kini telah benar-benar dewasa dan sepenuhnya menerima trauma masa kecilnya, menghadapi Jason dan berkata ,”Ternyata kau jauh lebih kecil daripada yang aku ingat.” Kalimat yang juga ia ucapkan secara tidak langsung kepada ayahnya yang telah menyakitinya dan suaminya yang tidak benar-benar mencintainya.
Yang menarik lainnya adalah adegan ketika Jessie (setelah bebas dan menjalani operasi untuk pemulihan tangannya yang luka), menulis surat untuk dirinya di masa kecil dulu. Ia berharap, dengan surat itu ia bisa memberi kedamaian pada dirinya di masa kecil sehingga tidak lagi membawa luka di dalam hati. Jessie berharap, surat itu akan membawa gerhana berlalu dan cahaya matahari kembali datang ke jiwanya yang sudah lama berada dalam kegelapan.
Shame – Perasaan Hina
Ini review saya mengenai film Gerald’s Game dan pesan yang sangat bermakna yang bisa saya dapatkan darinya. Bagi saya film ini baik ditonton oleh para orangtua, agar mereka dapat bersikap dengan baik dan benar kepada anak-anaknya.
‘Shame’ bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya ‘malu’, sama dengan malu yang dalam bahasa Inggris berbunyi ‘shy’. Namun dalam shame terkandung konotasi negatif, rasa malu yang lebih bermakna hina karena lahir dari perbuatan yang berlawanan norma dan etika. Shame, bila terkandung dalam hati seorang anak, tidak mudah hilang hingga ia dewasa. Manifestasi dari rasa itu akan berwujud pada berbagai macam bentuk sikap; rendah diri, penakut, gambaran diri yang buruk, dan banyak lagi.
Adalah tugas ayah dan ibu untuk benar-benar mendidik anak agar ia bisa tumbuh tanpa membawa emosi negatif tersebut. Seorang ibu, seharusnya bisa menjadi sosok yang penuh cinta dan mendukung. Sementara itu ayah, harus menjadi seorang pelindung yang melindungi dengan sebenar-benarnya. Dua gambaran ideal ayah dan ibu itu tidak didapatkan Jessie semasa kecil, sehingga ia tenggelam dalam trauma yang tidak dimengertinya sendiri.
By the way, ternyata film ini dibuat dari buku karangan penulis favorit saya, Stephen King. Pantas saja bagus dan berbobot isinya. 🙂
Leave a Reply