
This is just a confirming for my own self.
Beberapa tahun yang lalu, saya masih aktif menulis buku novel dan cerita pendek anak dan remaja. Akan tetapi beberapa insiden yang membuat saya merasa kurang sreg dengan editor dan penerbit yang menerbitkan buku saya terjadi. Hal itu kemudian membuat saya pikir-pikir lagi untuk meneruskan karir sebagai penulis.
Tapi hingga saat ini pun saya masih senang menulis. Bedanya, kini saya lebih senang menulis di internet, khususnya di beberapa blog pribadi milik saya sendiri.
Semalam, saya melihat-lihat kumpulan naskah yang sudah dan belum diterbitkan yang tersimpan di dalam hardisk komputer saya.
Wow. Saya takjub akan banyaknya naskah yang teronggok sana. Beberapa naskah novel bahkan saya lengkapi dengan pasword karena tidak ingin ada seorang pun selain saya yang membacanya.
Ketika saya membuka paswordnya dan membaca isi ceritanya, saya tertawa sendiri. Rupanya isi cerita itu adalah cerita romantis remaja, pantas saja saya tidak ingin siapapun membacanya. Saya bayangkan diri saya saat menulis cerita itu, masih penuh idealisme dan semangat yang berkobar-kobar untuk menjadi seorang penulis. Penulis cerita apa saja.
Akan tetapi kini, setelah tahun demi tahun berlalu, semuanya tidak lagi sama. Saya sudah jauh lebih dewasa dan lebih memahami apa yang sebaiknya saya tulis dan sampaikan kepada orang lain.
Bukannya saya berkata bahwa penulis cerita romantis lebih jelek daripada selain cerita romantis, namun khusus untuk diri saya sendiri, saya hanya ingin menulis untuk umum apa-apa yang bisa saya pertanggungjawabkan.
Termasuk dalam hal cerita, saya tidak ingin menulis cerita yang akan membuat orang yang membacanya berhayal mengenai macam-macam. Atau yang lebih buruk, melakukan persis seperti apa yang saya tulis dan kemudian mendapat keburukan karenanya.
Tapi, saya iseng-iseng coba meneruskan satu bagian dari novel romantis remaja itu. Hanya sekedar ingin tahu apakah insting penulis fiksi saya masih ada setelah sekian tahun tidak terasah. Di bawah ini yang saya tulis. Menurut saya, yang seperti ini sudah cukup romantis untuk kalangan pembaca remaja. Saya tidak ingin menulis lebih daripada ini sekalipun bisa melakukannya.
— bagian atas cerita tidak ditampilkan, hanya bagian yang saya tulis semalam. setting cerita : Tokyo, Jepang —

“Alhamdulillah…. Aku senang kalau kamu sudah bisa berpikir lebih jernih lagi,” ucap Ara.
“Nanti sore saya akan menemui Mayumi san dan menjelaskan hal itu baik-baik. Mbak mau ikut…? Temani deh, ya, Mbak…?” pinta Izar.
“Insya Allah,” angguk Ara. “Kalau kamu sudah sampai di depan apartemenku, telepon saja ya.”
“Ma kasih, Mbak… Assalamualaikum….”
Ara meletakkan telepon genggamnya di atas bantal kursi. Pikirannya tidak lagi fokus kepada apa yang dibacanya di majalah. Sore ini hanya tinggal dua jam lagi. Jantungnya berdebar. Bagaimana sebaiknya ia bersikap di antara Izar dan Mayumi? Keduanya adalah juniornya di kampus, usia mereka hanya berselisih satu tahun. Izar kuliah S1 tingkat 4 sedangkan Mayumi tingkat 3. Ara sadar, sebagai seorang yang lebih tua, sudah pasti ia akan diharapkan menjadi penengah di antara Izar dan Mayumi.
***
Jam lima tepat, Izar sudah ada di depan pintu apartemen Ara. Hari itu kebetulan Rian dan Eta sedang jalan-jalan ke toko buku di Shibuya, sehingga hanya ada Ara saja di rumah.
“Mbak, enaknya kita ngobrol di mana ya?” Tanya Izar, masih dengan sikapnya yang selalu grogi di depan Ara.
“Di taman depan apartemen aja, yuk! Kamu tunggu duluan di sana, sementara aku panggil Mayumi,” usul Ara.
“Oke,” angguk Izar. Ara memperhatikannya pergi ke sebuah taman kecil di depan apartemennya. Saat dilihatnya Izar telah duduk di sebuah bangku taman, ia pun bergegas ke rumah Hashimoto san yang terletak tepat di bagian bawah apartemennya.
Ara memencet bel sekali. Dua kali. Tidak ada jawaban. Ia menepuk dahinya. Bodoh! Kenapa aku tidak menelepon Mayumi san dulu?! Pikirnya dalam hati. Hari ini hari Minggu dan cuacanya sangat cerah. Bisa saja Mayumi sedang pergi jalan-jalan bersama ayah dan ibunya ke kota.
Tergesa-gesa, Ara menghampiri Izar yang masih duduk menunggu di taman. Dari raut wajahnya, Izar bisa segera menebak ada apa.
“Nggak ada ya, Mbak?” tanyanya langsung.
Ara mengangguk. “Tadi kamu sudah telepon Mayumi belum?” tanyanya sambil berdiri di depan Izar.
“Belum, Mbak,” geleng Izar cepat ,”saya lupa.”
“Aku juga lupa…,” ucap Ara penuh sesal. “Maaf ya… aku bingung banget tadi karena kamu tiba-tiba minta tolong menemani.” Dalam hati, Ara mencoba mengingat-ingat apa yang ia lakukan dua jam terakhir; berpikir, bicara sendiri, dan ujung-ujungnya memasak mie cup karena tegang. “Saking bingungnya aku sampai lupa seharusnya menelepon Mayumi sebelum kamu datang ke sini.”
Izar nyengir. “Iya, Mbak, nggak apa-apa. Saya juga salah tiba-tiba langsung datang ke sini dan merepotkan Mbak Ara.”
“Jadi gimana?” Tanya Ara lagi.
“Ya sudah, saya mau pulang saja sekarang, Mbak,” Izar bangkit dari duduknya lalu menepuk-nepuk jaket dan celananya. “Sekali lagi maaf ya, Mbak, sudah merepotkan.”
“Daijoubu,” ucap Ara sambil tersenyum.
Mereka berjalan bersisian menyusuri trotoar taman dan menyeberangi jalan kecil di depan apartemen. Sore itu angin bertiup lumayan kencang, membawa daun-daun kering yang terbang dan jatuh di trotoar.
“Mm… Mbak,” Izar tiba-tiba saja berkata pelan.
“Ya?” Ara menoleh. Bahunya terangkat dan matanya membulat.
“Mau makan soba di soba ten dekat sini, nggak? Kebetulan cuacanya dingin, paling enak kalau makan soba atau udon hangat,” jawab Izar.
Ara terkejut, tidak mengira akan ajakan Izar yang tiba-tiba.
“Mbak suka soba, kan?” Tanya Izar lagi. Keduanya masih berdiri tidak bergerak di depan apartemen Ara.
“Ng… iya sih, tapi, nggak apa-apa nih?” Tanya Ara ragu. “Nanti kalau Mayumi san lihat kamu makan sama aku bagaimana? Bisa-bisa dia tambah sedih.”
Izar menggaruk-garuk rambut ikalnya. “Ok deh… kalau begitu saya pulang saja. Sekali lagi maaf ya, Mbak, sudah merepotkan,” ujarnya kemudian.
“He ehm,” angguk Ara. “Tenang saja, kalau Mayumi san pulang nanti aku akan ajak dia bertemu denganmu.”
“Arigatou. Jya, ne…. Assalamualaikum!”
Izar melambaikan tangannya dan berjalan pulang. Sebelum masuk ke apartemennya, Ara sempat melihat tubuh Izar yang bergidik menggigil diterpa angin.
—
Cukup sampai di sini pemanasannya. Saya tidak meneruskan cerita ini kecuali saya rombak total isinya. I don’t think I can write romantic stories anymore, except the ones that I know my readers will benefit from them.
Recent Comments