
Lanjutan dari cerita saya tentang tangan-tangan yang tidak mau diam ini di The Hands That Heal (1). Setelah menyadari bahwa saya ternyata tidak ‘berbakat’ di bidang seni rupa, akhirnya, pelan-pelan saya meninggalkan peralatan melukis.
Di bangku SMP hingga menjelang lulus, saya sama sekali ‘off’ dari keasyikan berkreasi dengan tangan-tangan ini. Saya lebih senang mendengarkan musik, membaca majalah GADIS, komik-komik Elexmedia, bermain dengan teman-teman sekolah, dan ikut bela diri di MP. Intinya, tidak banyak hal kreatif yang saya lakukan di masa ini, selain beberapa buah puisi pendek yang kadang saya kirim ke mading sekolah.
Ketika duduk di SMA-lah, saya mulai lebih menfokuskan diriku atas kesenangan di bidang bercerita. Saat di SMA, saya mulai menantang diri untuk sanggup menulis. Bukan sekedar mencoret-coret tidak tentu, tapi menjadikannya sebuah tulisan yang nyata.
Maka, di sela-sela jadwal sekolah, saya mulai menulis dengan komputer yang baru dibelikan Papa di rumah. Sebuah komputer yang untuk saat itu terbilang lumayan, yang di dalamnya terdapat program Word Star untuk membantu menulis.
Di SMA, saya menyelesaikan novelet pertama yang berjudul ‘Sahabat Yang Tersayang’. Isi ceritanya campur aduk antara persahabatan, romantisme, petualangan, dan misteri. Tapi, meski ada unsur romantismenya, tetap saja cerita ini tidak vulgar, karena saya merasa malu sendiri bila menulis cerita yang terlalu gimanaaa… banget. Tema persahabatanlah yang lebih saya kedepankan dalam novelet ini, selain misterinya yang membuatnya menjadi lebih menarik.
Selesai novelet Sahabat Yang Tersayang, saya kembali menulis sebuah novelet yang berjudul… (duh, kok lupa!!). Yang jelas, cerita yang kedua ini mengisahkan tentang kepribadian ganda seorang gadis cacat yang tinggal di pelosok Inggris. Kerinduannya pada sang ayah yang telah lama berpisah dengan ibunya membuatnya berhayal memiliki seorang teman yang tidak nyata. Di akhir cerita, gadis kecil tersebut meninggal dunia, namun dengan hati yang tenang setelah kegelisahan dan kerinduannya kepada sang ayah telah terobati. Cerita yang sedih dan melankolis, yang saya tulis setelah membaca buku Negeri Dan Bangsa di bagian Negara-Negara Eropa. Saat membuat cerita ini, saya membayangkan setting sebuah pedesaan ala Inggris yang sepi, sunyi, penuh bunga-bunga, serta kastil-kastil yang indah mempesona.
Masa di SMA ini adalah masa-masa yang penting bagi saya. Di masa inilah saya mulai menemukan kesenangan di bidang tulis-menulis, khususnya fiksi. Saya mulai menemukan sesuatu yang membanggakan dan membuat saya selalu bersemangat melakukannya. Menulis, membuat sebuah cerita, mengarang alur, menciptakan tokoh-tokoh, membuat setting, lalu menuliskannya sebagai cerita, menjadikannya bacaan yang dapat dinikmati tidak saja olehku, tapi juga oleh orang-orang di sekitar saya.
Leave a Reply