
Ketika seorang anak laki-laki harus memilih antara dua cinta, wanita yang ingin ia nikahi dan ibunya, bagaimana seharusnya ia bersikap…?
Beberapa waktu belakangan ini, saya mendengar cerita seorang artis laki-laki yang bersikeras hendak menikah dengan wanita pilihannya sekalipun ibunya tidak menyetujui. Artis tersebut memohon, menangis menghiba agar sang Ibu mau merestui pilihannya namun ibunya bergeming. Sekalipun artis tersebut sudah berjanji tidak akan menelantarkan ibunya setelah menikah dan akan tetap berbakti, ibunya tetap tidak setuju bahkan menyumpahi anak laki-lakinya yang ia anggap durhaka tersebut.
Saya tidak tahu pasti apa yang menjadi penyebab ketidaksetujuan ibunya tersebut, namun jujur, mendengar cerita itu saya sangat sedih. Seharusnya, ketika tiba masanya seorang anak laki-laki harus memilih calon pendamping hidupnya, orangtua mendukung dengan kebijakannya. Bila calon yang hendak dipilih nyata ketidakbaikannya, orangtua harus mengingatkan anaknya tanpa mengecilkan pilihannya. Sebaliknya, bila calon yang hendak nyata kebaikannya, orangtua memberi jalan bahkan memudahkan anak agar dapat menikahi.
Saya miris membayangkan kondisi di antara ibu dan anak laki-lakinya tersebut. Seharusnya, bila mereka saling mengasihi dan menyayangi sebagai ibu dan anak, mereka bisa bertemu, berdiskusi, dan mengambil jalan keluar yang terbaik. Bukan malah memosisikan anak sebagai pihak yang bersalah dan di sisi lain orangtua sebagai pihak yang paling benar hingga merasa berkuasa (dan bebas menyumpahi).
Padahal, anak laki-laki itu belum tentu seratus persen bersalah. Karena pertama, ia sudah berada di dalam usia yang siap menikah dan memiliki kesanggupan untuk menafkahi. Kedua, ia sudah berjanji tidak akan menelantarkan ibunya dan akan tetap berbakti sebagai anak. Ketiga, calon istrinya pun (sepertinya) bersedia untuk bersilaturahmi dengan ibunya dan tidak bermaksud menguasai anaknya seorang diri. Lalu, apa alasannya sehingga ibunya tidak mau memberi restu agar anaknya dapat menikahi pilihannya…?
Seandainya sang ibu menyadari betapa besar kebaikan dari merestui niat baik anaknya tersebut, tentu ia tidak akan berpikir dua-tiga kali. Anaknya sudah dewasa dan membutuhkan pendamping yang akan memelihara diri dan kehormatannya, dengan cara yang tidak bisa ia berikan sebagai ibu pada anaknya. Dahulu ketika kecil mungkin anaknya sangat bergantung pada ibunya, berlindung di pelukan ibu untuk mendapat kenyamanan dan keamanan. Namun ketika ia dewasa ada kebutuhan yang hanya bisa ia dapatkan dari wanita dewasa lainnya (dalam kisah ini istrinya di masa yang akan datang). Seandainya sang ibu tidak merestui pilihan anaknya, bukan tidak mungkin ia akan memilih jalan yang salah untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
Bahkan kalau seandainya pun ibunya memiliki wanita pilihan yang menurutnya paling tepat untuk anaknya, ia harus menanyakan dulu pada anaknya apakah setuju dengan pilihannya atau tidak. Ia tidak boleh memaksakan kehendaknya karena kelak yang akan menjalani kehidupan keluarga adalah anaknya tersebut. Bila sang anak laki-laki harus memilih pilihan ibunya dan ia menyukainya, ia akan mencintai istrinya dan memperlakukan istrinya dengan baik. Tapi, bila ia tidak menyukainya, maka kehidupan pernikahannya akan hambar dan besar kemungkinan ia akan melalaikan tanggung jawabnya sebagai suami.
Karenanya, semestinya ibu dan anak di kisah awal tulisan ini duduk bersama dengan hati yang terbuka. Ibunya harus mau mendengar apa yang ada di hati dan pikiran anaknya; harapan dan keinginannya. Sang anak pun harus bisa mengkomunikasikan sebaik mungkin apa yang menjadi harapannya, masa depan yang ia cita-citakan, dan di mana posisi ibunya setelah menikah nanti. Biasanya, orangtua khususnya ibu merasa khawatir bila setelah anaknya menikah ia tidak lagi mendapatkan perhatian dan kasih sayang anaknya seperti dulu sebelum menikah. Adalah kewajiban sang anak laki-laki untuk meyakinkah ibunya bahwa hal itu tidak akan terjadi, dan benar-benar melakukannya setelah menikah nanti.
Namun kalaupun kemungkinan yang paling tidak mengenakkan terjadi, yaitu ibunya bersikeras untuk tidak memberikan restu, maka ada baiknya anak laki-lakinya tersebut berdoa dan memohon kepada Tuhan agar diberi petunju yang terbaik dan melakukan apa yang ia sanggup sebaik-baiknya. Tidak apa-apa ia meneruskan hidup dengan pilihannya, selama tidak menyalahi aturan yang telah ditetapkan dalam agama dan negara, dan sebisa mungkin tidak putus berdoa agar suatu saat ibunya dibukakan hatinya oleh Tuhan.
Semoga saja dengan berjalannya waktu sang ibu akan berubah lembut hatinya dan ikhlas akan keputusan anak laki-lakinya. Semoga juga ia bisa mencintai istri dari anaknya; perempuan lain yang juga berusaha untuk mencintai dan membahagiakan anaknya seperti halnya ia.
Leave a Reply